Sabtu, 24 November 2012

Agama Sebagai Kebutuhan Fitrah

"Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. 
Q.S. Ar-Ruum (30) ayat 30 :

Fitrah menurut ayat diatas adalah dasar penciptaan manusia, sifat pembawaan manusia sejak ia diciptakan dan merupakan kebutuhan hakiki manusia. Kebutuhan manusia dibagi dua, yaitu kebutuhan fitrah dan kebutuhan ‘kebiasaan'. Kebutuhan fitrah adalah kebutuhan hakiki setiap manusia, seperti kebutuhan berkeluarga, rasa ingin memiliki, keingintahuan akan sesuatu dan keinginan mencinai dan dicintai. Kebutuhan-kebutuhan ini tidak bisa dilepaskan dari manusia, meskipun generasi berikutnya dididik khusus agar dalam hidup mereka tidak mengenal kebutuhan-kebutuhan tersebut. Adapun kebutuhan kebiasaan adalah kebutuhan yang tidak melekat dengan penciptaan manusia, tetapi akan menjadi kebutuhan manakala dilakukan berulang-ulang, seperti kebutuhan akan minuman keras atau ganja, perlahan-lahan keiasaan tersebut akan menjadi bantuan alamiah, tetapi dengan usaha intensif kebutuhan-kebutuhan itu dapat ditinggalkan, bahkan dapat mendidik generasi berikutnya untuk tidak pernah mengenal sedikitpun kebutuhan-kebutuhan tersebut.

Contoh kasus, di negara komunis. Pemerintah komunis berusaha untuk melaksanakan sosialisme sebagai tonggak persatuan negara dan pemusnahan tatanan kekeluargaan yang bersifat pribadi agar masing-masing pribadi warganya seperti skrup-skrup kecil yang membangun suatu negara tanpa memiliki kepribadian, kecuali kepribadian negara itu sendiri. Tetapi semua usaha itu gagal total, sebab dorongan untuk membentuk keluarga merupakan dorongan fitrah. Jauh dilubuk jiwanya, setiap manusia menghendaki pendamping hidupnya dan sangat menghendaki anak sebagai wujud kelanjutan dirinya di bumi ini.

Suatu norma sosial akan tetap lestari jika ia merupakan satu-satunya kebutuhan fitrah atau satu-satunya sarana untuk mencapai kebutuhan-kebutuhan fitrah tersebut. Norma sosial itulah agama.

Islam sebagai agama adalah kebutuhan fitrah yang akan melekat terus dalam kebutuhan manusia. Fitrah manusia yang membutuhkan agama, digambarkan Allah dengan suatu perjanjian antara Allah dengan manusia jauh sebelum manusia di alam rahim, atau tepatnya di alam ruh.

“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah aku ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), Kami menjadi saksi". (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)", Q.S. Al-A’raf (7) ayat 172.

Perjanjian inilah yang dimaksud keterikatan mansuia kepada Agama, begitu pula yang diungkapkan oleh para tokoh berikut ini :

1. Alexis carell : “Pada batin manusia ada seberkas sinar yang menunjukkan kepada manusia, kesalahan yang terkadang dilakukannya. Sinar inilah yang mencegah dari kemunkaran. Bahkan terkadang manusia merasakan kebesaran dan keagungan ampunan Tuhan”.

2. William james : “Perbuatan manusia lebih terikat kepada naluri agamanya dibanding kepada perhitungan materialnya. Kita melihat manusia memiliki sifat ketulusan, keikhlasan, kerinduan, keramahan, kecintaan dan pengorbanan, semua itu adalah dorongan keagamaan yang tidak akan terlepas dari sifat semua manusia.”
Jadi terlihat sekali bahwa orang yang mengingkari agama, Tuhan serta seluruh panggilan fitrahnya, pada hakikatnya ia telah menelantarkan dirinya dan melupakannya, itulah awal kehancuran orang yang telah mengingkari kebutuhan akan agamanya.

“Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. mereka Itulah orang-orang yang fasik.” (Q.S. Al Hasyr (59) : 19)

Para ilmuan barat bukan hanya melupakan Tuhan / Agama, malah mereka hendak mengganti peranan Tuhan, sebab menurut mereka Tuhan telah mati! Menurut mereka tidak ada yang tersembunyi dan mustahil dihadapan ilmu pengetahuan. Salah seorang ilmuan barat yang terkenal (kekafirannya) adalah Emond Leech yang mengarang buku berjudul “Kami Ahli Pengetahuan Harus Mengambil Alih Peranan Tuhan”.

Menurut Emond Leech, jenis manusia yang akan lahir kedunia itu harus ditentukan sesuai dengan perkembangan zaman. Zaman sekarang hanya membutuhkan orang-orang yang bertubuh kuat, berfikiran cerdas, bergerak cepat dan berwajah cakap. Orang yang bodoh dan lugu, tidak usah dilahirkan lagi. Menurut mereka, banyaknya anak yang lahir dengan tubuh yang cacat dan ideot, menunjukkan Tuhan sudah tidak bisa memenuhi kebutuhan akan manusia yang berkualitas yang diperlukan zaman modern ini.

Untuk itu nutfah yang mengandung gen manusia, harus direkayasa hingga diperoleh bibit-bibit unggul manusia ciptaan sains, bukan ciptaan Tuhan!

Salah seorang tokoh aliran ini adalah Prof. Paul Ehrenfes, guru besar dalam ilmu fisika. Ia mencoba mendidik anaknya hanya dengan ilmu fisika. Ia mencoba mendidik anaknya hanya dengan ilmi exact. Ia bercita-cita kelak akan muncul anaknya sebagai anak jenius pertama ciptaan ilmu pengetahuan tetapi apa yang terjadi? Subhanallah! Ternyata anak itu bukan menjadi seorang yang berakal brilian, malah otaknya menjadi tidak sempurna dan sangat idiot!

Sang profesor kecewa dan akhirnya bunuh diri! Sebelum bunuih diri ia sempat membuat surat yang ditujukkan kepada kawannya, Prof. Kohnstaman, bahwa agama itu perlu (Religion Ist notig), dan ia menyesal telah melukai Tuhan, kemudian ia mendoakan orang yang masih hidup, “Moge gott denen beistahen, die ich jetzt so heftig verletze”

“Allah menyediakan bagi mereka azab yang keras, Maka bertakwalah kepada Allah Hai orang-orang yang mempunyai akal; (yaitu) orang-orang yang beriman. Sesungguhnya Allah telah menurunkan peringatan kepadamu,” (Q.S. At Thalaq (65) : 10)

“Lihatlah bagaimana mereka telah berdusta kepada diri mereka sendiri dan hilanglah daripada mereka sembahan-sembahan yang dahulu mereka ada-adakan.” (Q.S. Al-An’aam (6) : 24)

“Maka Kami binasakan mereka Maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan itu.” (Q.S. Az-Zukhruf (43) : 25)